Dalam Detak Jantung Sang Pahlawan
Mentari baru saja
menyulut hari. Kibasan jingga di sisi timur horison perlahan memudar. Seorang
pemuda masih termangu di sebuah jendela. Matanya terpaku lurus. Fokus. Pikirannya
mengembara. Membuka berkas-berkas usang yang penuh debu-debu kepedihan. Hari ini adalah tepat lima tahun engkau
pergi, Yah. Ia menarik napas panjang, lalu perlahan kembali menghempasnya.
“Bu, Ardan mau keluar
sebentar,”
“Iya. Jangan lama-lama,
nanti antar ibu ke pasar. Benang jahit ibu sudah habis,” kata Ibunya sambil
tetap bergelut pada mesin jahit usangnya.
“Iya, Bu.”
Secepat kilat Ardan
meninggalkan jendela. Meninggalkan lamunannya. Ia raih sepedanya, dan bergegas
meninggalkan rumah.
Aspal basah. Genangan
air memenuhi lubang-lubang jalan di sana-sini. Ini pasti ulah langit tadi malam. Ardan tersenyum tipis sambil
tetap konsisten dalam kayuhannya. Tiba-tiba sebuah tempat terbersit di otak
pemuda itu.
Akhirnya roda itu
berhenti. Bau semerbak bunga kamboja mulai tercium saat Ardan turun dari sepedanya.
Tanpa jeda, ia segera melangkahkan kakinya memasuki areal yang bertanah merah.
Seorang berkemeja putih dan berpeci hitam dengan khusyuk melantunkan tahlil.
Hanya sosok itu yang tertangkap sepanjang mata Ardan menatap. Ya, hanya mereka
berdua manusia hidup di areal itu.
Orang
bilang sosok itu hangat
Orang
bilang sosok itu keindahan
Sedangkan
dalam otakku, hanya ada tanah bernisan
Tanpa
kehangatan, tanpa keindahan, tanpa kebahagiaan
Ardan tertegun di
samping sebuah nisan. Disalah satu sisinya tertulis nama orang yang sangat ia
hormati. Ayahnya.
“Selamat pagi, Ayah.
Maaf aku tak membawakanmu apa-apa. Aku hanya membawa doa, semoga engkau
ditempatkan di tempat terindah yang Allah punya,” Ardan membelai lembut nisan
di hadapannya.
Bunga kamboja di
sekitaran makam tersenyum sendu. Sementara angin dengan merdu mendeklamasikan
lagu-lagu kematian. Langit mulai kusam memberat. Mata pemuda itu terpejam.
Merangkai doa. Membisikkan segala pintanya pada Sang Pencipta. Tangan-tangannya
menengadah. Perlahan derainya menggenang di kedua pipinya, bersamaan dengan
derai langit yang turun. Terimakasih Ya
Allah. Aku tahu hujan adalah rahmad, dan juga turun atas kehendakMu. Aku tahu
Kau menurunkan hujan agar air mataku tersembunyi, dan Ayah tak melihatnya.Ia
mendongakkan kepalanya. Menikmati peluru-peluru langit yang jatuh di wajah
teduhnya. Lama.
Sosok berkemeja putih
yang ada tak jauh dari Ardan telah pergi. Sekarang hanya dia, manusia hidup di
pemakaman itu. Diciumnya batu nisan Ayahnya untuk kesekian kalinya. Lalu
perlahan menjauh meninggalkan makam orang yang membuatnya ada di bumi ini.
Ardan kembali mengayuh
sepedanya. Menembus ribuan butiran air yang dijatuhkan langit. Perasaannya
sedikit tidak tenang. Ada sesuatu yang menelusup tiba-tiba di hatinya. Ibu. Ia memaksimalkan dorongan di
pedalnya.
Bruk..
Pemuda itu melempar
sepedanya. Dengan langkah seribu ia berlalu memasuki pintu, tanpa berucap salam
seperti yang biasa ia lakukan. Titik-titik air menjejak di sana-sini. Lampu
ruang tamu masih menyala. Tak biasanya
Ibu belum mematikan lampu ruang tamu sampai sesiang ini. Rasa curiga di
dadanya mulai terpupuk. Dengan cekatan ia berlari ke kamar-kamar. Dapur. Kamar
mandi. Dimana-mana. Tapi hasilnya tetap sama. Nihil. Ia belum juga menemukan
Ibunya.
“Ibu..” teriak Ardan.
Kaki-kakinya mulai
layu. Ia terduduk lemah di sudut ruang tamu. Ditutupnya wajah itu dengan
tangan, sambil sesekali mengacak-acak rambut dan meninju lantai. Bayang-bayang
Ibunya terus menari di otaknya. Jantungnya berpacu semakin cepat.
“Assalamualaikum..”
suara itu sedikit lebih keras dari gemuruh hujan di luar rumah.
“Waalaikumsalam,” Ardan
segera bangkit menuju pintu. Baju dan celana hitam pendeknya masih basah. “Om
Kriss..” keningnya berkerut.
“Ada yang ingin om
sampai..”
“Ayo masuk, Om!” potong
Ardan sambil menarik Omnya memasuki rumah. “Om ada perlu apa?”
“Tadi sewaktu om
kesini, penyakit jantung Mbak Anita kambuh. Jadi om membawanya ke rumah sakit.”
Ardan membelalak. Pupil
matanya membesar. Perih perlahan merayapi lubuk hatinya.
“Ibu masuk rumah sakit,
Om? Rumah sakit mana?”
“Rumah Sakit Medika,
Ar. Ayo om antar!”
Langit serasa runtuh
menimpa Ardan. Ia segera membuka pintu dan berlari mengambil sepedanya, tanpa
menjawab tawaran Omnya.
“Ar..” Omnya mencoba
memangil, tapi Ardan terlanjur lenyap dalam derai hujan.
Ibu,
maafkan aku yang telah lalai meninggalkanmu saat kau butuh. Ayah, maafkan aku
yang tak bisa menjaga wanita yang kita cintai. Ardan
tetap mengayuh melawan hujan. Menantang angin yang memberatkan langkahnya.
Ambisinya terlalu membara.
“Ayo, Ardan! Ayo!” hati
Ardan berbicara.
Ardan tetap konsisten
mengayuh. Sementara langit dengan semangat menggebu tetap menghujani bumi.
Jalanan lenggang. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Pandangan pemuda itu
mulai buram. Matanya memerah. Merah karena derainya. Merah karena derai langit.
Bangunan rumah sakit sudah mulai tampak. Ia sedikit tersenyum dalam hati.
Bergegas ia menyeberang.
Tet..tet! Bruk!
Tubuh Ardan terpental.
Darah segar mengalir membasahi aspal. Bercampur dengan hujan. Tangan-tangan
yang mulai keriput karena terlalu lama terkena air itu meraba dahinya. Darah.
Nyeri dan perih berpadu. Menjalar lewat sendi-sendi yang mulai kaku tak
berdaya. Dengan sekuat tenaga ia berdiri. Meramu daya yang tinggal sisa.
“Ibu..” suara Ardan
terdengar parau.
Ia seret satu kakinya
yang patah. Satu langkah. Dua langkah. “Bruk!” tubuhnya kembali jatuh di aspal.
Darah dari luka-lukanya bertambah deras mengalir. Cairan merah itu juga
menyembur dari mulutnya. Pandangannya mulai buram.
“Kecelakaan..” pekik
seorang perempuan yang mencoba mendekati Ardan. Disusul sekelompok orang di
belakangnya.
Mereka
menyemut di sekeliling tubuh Ardan. Menatap nanar pemuda yang bermandikan darah
itu. Mata Ardan masih terbuka, tapi pandangannya mulai buram. Buram. Gelap.
Warna-warna bumi tak tampak lagi di matanya. Mata indah itu melekat kuat.
Seorang berjas putih
telah selesai menempelkan stetoskopnya di dada seorang pemuda yang terbaring
lemah di tempat tidur. Selang infus menggantung di sebuah tiang dan bermuara di
punggung tangan itu. Perban putih menempel di beberapa bagian tubuhnya. Kepala.
Tangan. Kaki. Ia sudah tak sadarkan diri sejak lima jam yang lalu.
“Ayo, Suster!” Dokter
itu mengajak Suster di belakangnya untuk meninggalkan ruang rawat itu.
Jemari tangan Ardan
sedikit bergerak. Menyampaikan tanda-tanda kehidupan pada diri empunya.
Perlahan matanya membuka. Menatap dinding-dinding putih di sekelilingnya.
“Tunggu, Dok!” pekik
Suster menghentikan langkah seorang berjas putih yang hampir sampai di pintu.
“Ada apa, Suster?”
“Pasien sudah mulai
sadar, Dok.”
Dokter itu kembali
mendekati Ardan. Ia juga kembali menempelkan stetoskopnya di dada pemuda itu.
Detak jantungnya stabil.
“Ibu..” kata Ardan
lirih. Wajahnya pucat pasih. “Ibu A..nita,” lanjut Ardan.
“Anda tenang dulu. Ibu
Anita sedang dalam pengawasan kami di ruang ICU.”
Ardan bergeming. Dengan
payah, ia mengangkat tangannya untuk menunjuk kertas-kertas yang dibawa Suster
di sampingnya. Suster itu tampak mengerti maksud Ardan. Ia mendekati Ardan
sambil menyerahkan secarik kertas dan sebuah bolpoin. Kertas putih itu mulai
ternoda oleh coretan-coretan Ardan. Coretan yang tak begitu beraturan karena
tangannya yang masih lemah.
“Dok, jika a..da
apa-a..pa dengan sa..ya, pakailah jan..tung sa..ya untuk menggan..ti jantung
I..bu saya. Dan to..long beri ini untuk..nya,” terbata-bata Ardan berkata
sambil menyodorkan kertas yang tadi ia tulisi pada Dokter di hadapannya.
Dokter itu termangu.
Ditatapnya nanar kertas yang sekarang dalam genggamannya. Ia tak dapat berkata.
Suaranya tercekat di tengorokan.
“Dokter!” pekik Suster
yang melihat Ardan kembali terpejam.
Dokter itu bangkit dari
ketermanguannya. Ia kembali memeriksa pemuda yang menyerahinya secarik kertas.
Denyut nadinya mulai melemah.
“Dokter! Pasien yang
bernama Bu Anita di ruang ICU tiba-tiba kritis,” Suster lain tiba-tiba
menyembul dari balik pintu.
“Bawa pasien ini ke
ruang operasi. Kita akan lakukan apa maunya.” Dokter memerintah Suster yang
berada di sampingnya.
Bergegas
Dokter itu menuju ke ruang ICU. Menangani seseorang yang dicintai Ardan.
Seseorang yang telah melahirkannya di dunia yang indah ini.
“Alhamdulillah..” kata
Om Kris yang melihat Kakaknya telah sadar setelah melakukan operasi.
Perempuan paruh baya
itu menatap sekeliling. Matanya beredar. Tapi nihil. Sosok anaknya tak ada di
ruang rawat itu. “Ardan mana?”
Seisi ruangan hening.
Dokter, Suster, dan Om Kris membisu. Dengan berani, Dokter memberikan secarik
kertas yang diterimanya dari Ardan.
Ibu,
terimakasih untuk semuanya. Untuk waktumu yang terbuang karena mengurusiku.
Untuk segala tawa yang selalu memancar di wajahmu, dan untuk kasih dan sayangmu
yang tak pernah berhenti tercurah untukku.
Maafkan
aku untuk semua kesalahan yang ku buat padamu, Ibu. Maaf juga aku tak ada di
sampingmu saat kau membuka mata. Tapi ketahuilah Ibu, aku tak pernah pergi. Aku
tetap ada di sepanjang detak jantungmu. Mengalir bersama aliran darahmu.
“Apa maksutnya semua
ini?” suara perempuan itu sedikit parau. Air matanya mengalir deras.
“Ardan sudah pergi,
Mbak. Dia yang telah mengorbankan jantungnya untukmu. Dia telah menjadi
pahlawan penyelamatmu, Mbak.” Om Kris mendekat dan mendekap Kakaknya.
“Tidak! Itu tidak
mungkin. Ardan! Anakku!” perempuan itu memekik keras. Ia masih belum percaya
pada kenyataan yang harus ia terima.
Beberapa detik kemudian
kesadarannya hilang. Matanya terpejam. Badai yang
menghantamnya terlalu kencang. Badai itu telah mengobrak-abrik hatinya. Dalam
pejamannya, ia lihat sosok Ardan. Sosok itu tersenyum sambil melambaikan
tangan.
`````````~`````````
by : Ana Milatusholihah