Gemuruh
Mata indah itu menerawang jauh.
Wajahnya mendongak menatap cakrawala yang terlihat kusam. Tatapannya tinggi.
Lebih tinggi dari gagahnya gunung yang ia tunggangi sekarang. Perlahan matanya
memejam, dan saat itu angin sepoi menerpanya. Rambut hitam legam itu melambai
bak nyiur yang diterpa angin pantai.
“Ayo pulang, Nak! Sebentar lagi hujan,”
kata sosok setengah baya yang mendahului langkahnya.
Bergegas digendongnya seikat kayu bakar. Ia tersenyum, lalu dengan
cepat mengekor di belakang Ibunya. Gadis yang biasa dipanggil ‘Saras’ itu
sedikit tersengal setelah berlari menyusul Ibunya yang berjarak lumayan jauh
darinya.
Jalan setapak yang terlihat sepanjang
mata memandang seperti lenggak-lenggok tubuh ular tanpa kepala dan ekor. Ia
seperti berteriak kepada Saras, agar gadis bermata indah itu lekas sampai di
rumah sebelum hujan mengguyur bumi. Saras berjalan sedikit lebih cepat, seolah
dia mendengar teriakan itu. Beban di punggungnya tak menghalangi semangat yang
membakar hatinya. Bersabarlah dulu hujan.
Biarkan aku dan Ibu sampai di rumah dulu.
“Cepat mandi, Ras! Ibu akan membuatkan
teh untuk Simbah,” kata Ibunya sembari meletakkan beban di punggungnya di
samping ikatan-ikatan kayu bakar yang belum terjual.
Saras mengangguk. Segera ia larikan tubuhnya
ke sungai untuk mengambil air. Sekali lagi ditatapnya langit. Wajah kusam yang
beberapa saat tadi ia lihat sekarang mulai memberat. Dijinjingnya ember dan
tergopoh-gopoh menuju sungai.
Akhirnya
sampai juga. Hujan, tetaplah bersabar! gadis
itu menyeringai. Ia ingat saat sewaktu kecil ia dan Simbahnya mandi di sungai
itu. Di bawah rimbunnya pepohonan. Tapi sekarang itu sudah tidak mungkin lagi
untuk dilakukan. Perempuan yang berusia setengah abad itu sudah lebih dari
sebulan tergolek tak berdaya di tempat tidur. Ia hanya bisa menggerakkan tangan
kanannya. Saraf-sarafnya telah mati dimakan umur. Bahkan bicaranya tak jelas.
Gagu. Bukan hanya itu, pepohonan yang dulu rimbun, sekarang dicukur habis oleh
oknum tak bertanggung jawab.
Setelah embernya penuh dengan air,
Saras bergegas mengayunkan langkahnya kembali ke rumah. Tapi baru beberapa
meter ia meninggalkan sungai, langit mulai menjatuhkan rintiknya. Saras tak
berhenti. Langkahnya justru semakin cepat.
Baju berwarna merah yang ia pakai
terlihat basah di sana-sini saat memasuki pintu rumah. Mungkin langit tahu kalau aku belum mandi. Ia tersenyum kemudian
mandi.
“Cepat sembuh ya, Mbah! Nanti kita
mandi di sungai lagi,” kata Saras lirih di samping Simbahnya.
Perempuan yang wajahnya penuh keriput
itu menyunggingkan senyum. Suasana menghangat. Sementara di luar, langit masih
merintik deras.
“Aga di..li aik-a..ik, Nduk!”
terbata-bata Simbahnya berkata. Kata-katanya terdengar sumbang di sana-sini.
Saras
mengangguk sambil tersenyum. Ia terlau sering mendengar kata-kata Simbahnya.
Sehingga ia tak perlu pusing-pusing menerjemahkannya. Perlahan ia dekatkan
tubuhnya untuk memeluk Simbahnya. Lama. Satu menit. Dua menit. Tiga menit.
Rasanya tak ingin ia melepaskan pelukan itu. Saras terus mengumbar senyum,
seakan esok ia tak dapat memeluk Simbahnya lagi.
Gelap lamat-lamat. Hanya kebekuan yang
merambat lewat sendi-sendi yang mulai merenggang. Mata Saras masih merekat
kuat. Sementara langit dengan semangat menggebu masih konsisten pada derainya.
Hujan pertama di pergantian musim kali ini berlangsung sangat lama.
“Saras, sudah shubuh. Ayo bangun!”
Suara lembut itu mengalun di telinga
Saras. Perlahan ia membuka matanya. ia dapati Ibunya tengah bersimpuh di
sajadah. Sayup-sayup ia dengar namanya disebut dalam untaian doa Ibunya. Mata
indah itu memerah, kemudian perlahan pipinya basah. Tuhan, maafkan aku yang belum bisa mengukir senyum di wajah Ibuku. Saras
mendekati sosok paruh baya itu.
“Ibu..” ucap Saras lirih. Ibunya
menoleh.
“Ada apa, Nak? Kenapa kau menangis?”
“Aku sayang Ibu.”
Ia benamkan wajahnya dalam pangkuan
Ibunya. Air matanya tumpah. Penyesalan demi penyesalan memenuhi relung hatinya.
Ibunya sejenak bergeming. Dielusnya pundak pemilik mata indah itu. Air matanya
juga ikut menggenang.
“Ibu juga sayang padamu, Saras. Ibu
sangat menyayangimu.”
Semakin erat Saras mendekap sosok yang
paling dikasihinya itu. Hatinya perlahan tenang. Tapi matanya tetap berderai.
Hujan masih setia dalam tangisannya.
Tiba-tiba suara gemuruh menyergap. Saras membelalakkan matanya. Pupil matanya
membesar. Ia tiba-tiba ingat pada peristiwa lima tahun lalu yang merenggut
nyawa Ayahnya.
“Cepat kelur rumah, Ras! Itu suara
tanah yang mulai longsor,” seru Ibunya sembari melepaskan mukenanya.
“Iya, Bu.”
Ibu dan anak itu segera berlari keluar
rumah. Yang mereka pikir sekarang hanyalah keselamatan mereka. Tak ada yang
lain. Saras terus berlari sambil menggandeng Ibunya. Tepat sesuai prediksi
Ibunya, beberapa saat kemudian longsor menimbun rumah mereka. Saras
menghentikan langkahnya. Saat ia menoleh, rumahnya telah hancur dan tertimbun.
Ia terpaku. Kejadian itu tepat di depan matanya. Dayanya hilang. Tubuhnya
melemah di dekapan Ibunya.
“Simbah..” pekik Saras.
“Astagfirullah, Emak!!” pekik Ibunya
juga kemudian.
Saras berontak. Ia hendak berlari
menuju bangunan rumahnya yang telah tertimbun tanah. Meronta. Bayang-bayang
wajah Simbahnya memutar memenuhi otaknya. Hatinya gelisah. Rambut hitam legam
itu terlihat tak beraturan.
Perlahan hujan reda. Ia seakan puas
telah meruntuhkan tebing-tebing dan menimbun rumah-rumah. Saras masih terlihat
kacau di bawah pohon besar. Mata indahnya terlihat sembab. Bekas-bekas tanah
basah menempel dimana-mana. Di roknya. Di bajunya. Ia membisu. Gairahnya
menepidan tersapu rasa pilu yang kini merajai hatinya. Dipeluknya lututnya, dan
dibenamkannya wajah sendu itu.
Orang-orang
desa berlalu lalang. Mencaribenda-benda yang masih bisa diselamatkan. Sebagian
lainnya meronta-ronta karena kehilangan orang yang mereka cintai. Suasana riuh.
Desa tempat tinggal Saras seperti hilang dari sivilisasi. Semua rumah rata
dengan tanah. Semua rumah bahkan hilang tertimbun tanah.
“Simbah belum bisa ketemu, Nak.,” kata
Ibunya saat menghampiri Sras di pengungsian.
Saras bergeming. Sudah dua hari setelah
bencana yang menimpa desanya, ia jarang bersuara. Tatapannya sering kali
kosong. Kejadian itu bak angin yang mendorongnya terjun dalam lembah kepiluan.
Kali ini ia ingin merespon kabar dari Ibunya, tapi suaranya seperti tercekat di
tenggorokan. Ia ingat terakhir kali ia memeluk Simbahnya. Saat perempuan itu
menyuruhnya menjaga dirinya. Jika aku
tahu itu terakhir kali aku memelukmu, mungkin saat itu tak akan ku lepas
pelukan itu, Mbah. Matanya kembali berembun.
“Mbak...” teriak seseorang. Ia
tergopoh-gopoh menuju ke arah Saras dan Ibunya duduk.
“Ada apa, Mas?” tanya Ibunya.
“Simbah sudah ditemukan, sekarang
sedang diurus dan hendak dimakamkan,” jelas orang itu.
Saras tersentak. Ia buru-buru bangkit.
Pembawa kabar itu membawanya ke tempat Simbahnya berada.
Tanah merah basah. Bau semerbak bunga.
Saras berlari. Dari kejauhantampak dua orang yang telah selesai menimbun makam.
Hatinya tak karuan. Ia sempat jatuh pada kubangan lumpur, tapi akhirnya ia
bangkit dan kembali berlari. Bajunya penuh dengan tanah merah basah.
“Simbah..” teriaknya.
Ibunya terisak sambil mengekor di belakangnya.
Perempuan paruh baya itu sadar kalau Simbah adalah orang yang orang yang sangat
disayangi Saras, layaknya dirinya. Akhrnya mereka sampai di depan sepasang
nisan. Mata Saras menyelidik. Dilihatnya nisan itu. Tertulis nama Simbahnya. Ia
menjatuhkan dirinya tepat di samping nisan itu. Dipeluknya batu itu erat-erat.
Seakan-akan itu sosok Simbahnya yang ia sayang. Tangisnya pecah.
“Sabar, Nak! Ikhlaskan Simbah. Biarkan
beliau tersenyum di sana. Jangan bebani langkahnya menghadap Sang Khaliq.” Kata
Ibunya sambil mengelus pundaknya.
Ia menoleh, lalu berganti memeluk
perempuan yang kini satu-satunya ia miliki. Hatinya berontak, tapi bilik kecil
di hatinya berkata kalau dia harus ikhlas. Ikhlas menhadapi bencana. Ikhlas
merelakan orang yang ia sayang menjadi korban dari gemuruh yang menimbun
rumahnya. Sejenak ia tatap langit. Mentari mulai menjemput senja. Menutup hari
dengan goresan-goresan jingga.