Skenario
Berkabut
Langit menguning. Goresannya cenderung jingga. Lukisan
ritual penyambutan untuk bola raksasa sang penerang jagad raya. Aku masih diam.
Ruang yang berpendingin ini semakin memacu ambisiku menarik selimut yang turun
ke bawah kakiku, karena atraksi yang tanpa sadar ku lakukan saat tidur. Mataku
semakin lengket. Malas.
“Dengarkanlah wanita pujaanku..” ringtone ponsel di meja
sebelah tempat tidurku mengobrak-abrik ritual tarik selimutku.
“Itu pasti Moli.” Instingku bermain.
Benda putih di meja itu bak magnet yang menarikku.
Tarikannya semakin kuat ketika aku sampai di dekatnya.
“Selamat pagi Pangeranku.”
Instingku tepat. Sapaan itu tak lain memang Moli.
Suaranya terdengar renyah. Dan karena itu juga kantukku hilang. Mungkin ada dua
puluh watt pancaran cahaya dari dua bola mataku sekarang.
“Selamat pagi juga Bidadariku,” balasku senada.
Moli tertawa kemudian. Wajahnya memenuhi kepalaku. Ku
bayangkan ia sedang tertawa dengan balutan dress merah yang ku berikan tempo
hari. Cantik.
“Cepat mandi!! Tiga puluh menit lagi kita ketemu di
sekolah. Bye..” Moli mengakhiri telfonnya.
Segera ku larikan diriku ke kamar mandi. Dingin. Tapi
tubuhku terlanjur mati rasa. Ambisi untuk bertemu Moli secepatnya lebih besar
daripada rasa dingin yang sementara.
“Antar papa ke kantor dulu!! Mobil papa tadi sore masuk
bengkel.” Kata Papa di meja makan.
“Tapi Pak Rukman?”
“Pak Rukman papa suruh istirahat. Jantungnya kambuh.”
Rencana jalan-jalan bersama Moli terpaksa gagal.
Pasalnya, tugas menjadi supir sementara akan berlanjut hingga sore dan harus ku
jalani. Kalau tidak, debat yang mengusik telinga itu akan terjadi pagi ini. Ya,
jika perintahnya tidak dilakukan, keahlian Papa sebagai seorang pengacara ikut
andil. Hingga aku mati kutu dan kehabisan kata-kata, lalu akhirnya dengan
terpaksa mengikuti perintahnya. Susah memang jadi anak pengacara. Harus pintar
debat.
“Molan... sudah jam berapa ini. Selain kamu, papa juga
bisa terlambat. Ada sidang pagi ini. Berkas papa belum lengkap.” Papa berteriak
dari lantai bawah, saat aku ke kamarku untuk mengambil kunci dan tas.
“Brakk..” tinjuanku mendarat di tembok sebelah pintu
kamar,
“Aw...keras juga nih tembok,” ujarku setengah menjerit.
Alih-alih ingin melampiaskan kekesalan, tanganku justru
lecet karena benturan keras yang ku buat sendiri. Papa semakin menjadi-jadi.
Segera ku turuni tangga.
“Kemana saja kamu? Sudah jam berapa ini?” Papa menunjuk
jam tangan keluaran Paris di tangan kirinya.
“Nyari kunci Pa.”
Aku sedikit tersenyum sambil menyembunyikan luka di tanganku.
Respon Papa dingin. Hanya gelengan kepala yang tertangkap mataku. Perih itu
kembali tersa. Aku kembali meringis saat mengekor di belakang Papa. Tapi saat
ia menoleh, aku tersenyum dan berpura-pura tak terjadi apa-apa.
Tiga puluh menit kemudian aku sampai
di sekolah. Masih dengan kekesalan, ku parkirkan tunggangan kesayanganku di
parkiran. Mobil sport hitam penuh dengan modifikasi. Saat berjalan menuju
kelas, sekelebat ku lihat dengan gontai Moli berjalan dari taman ke kelasnya.
Sepertinya ia jenuh menunggu kedatanganku.
Dengan angkuh rembulan bertengger di langit. Bercengkrama
dengan bintang-bintang yang dengan genitnya berkedip. Mereka seakan mengejekku.
Membuatku iri pada kemesraan dan pelampiasan rindu mereka malam ini.
Aku hanya melihat Moli saat berjalan menuju kelas.
Selebihnya dia bagai hilang ditelan bumi. Sosoknya yang biasa ku temukan di
kantin atau taman sekolah, hari ini tak terjamah mataku. Mungkin dia kecewa
pada sikapku pagi ini, atau mungkin mataku saja yang kurang jeli.
“Besok semuanya akan kembali normal.
Ya, akan ku buatkan kejutan untukmu Moli. Semoga mimpi indah datang di tidurmu
malam ini.”
Benda petunjuk waktu di meja sebelah tempat tidurku
berdering hebat. Suaranya laksana petir yangmenyambar di siang bolong. Aku
menyambar benda itu dan cepat-cepat membenamkannya ke bawah bantal.
“Moli..”
Tiba-tiba aku teringat misi yang akan ku lancarkan pagi
ini, yaitu mengajaknya ke bioskop untuk menonton film baru yang ia
tunggu-tunggu. Aku segera bangkit mencari-cari ponsel putihku yang entah dimana
bersembunyi. Seisi kamar berantakan. Setelah aku hampir menyerah, aku baru
ingat kalau benda itu ku letakkan di kursi balkon semalam. Secepat kilat aku
berlari dan menuju ke balkon.
“Selamat pagi Bidadariku!! Aku merindukanmu hari ini.”
“Selamat pagi juga Pangeran,” jawabnya sedikit manja.
“Maaf ya, sudah membuatmu menunggu kemarin.”
“Aku tak merasa menunggumu. Aku hanya berharap melihatmu,
tak lebih. Jika kenyataannya aku tak melihatmu, mungkin Tuhan belum
mengizinkanku bertemu denganmu saat itu Molan.” Jelas Moli khas dengan suara
lembutnya.
“Makasih ya, Tuhan pasti punya rencana lain,”
Lega rasanya mendengar respon itu. Ekspresi kebencian
yang aku takutkan ternyata tidak muncul. Kata demi kata begitu saja meluncur.
Kami tenggelam dalam kata-kata itu. Ini minggu yang indah. Bukan hanya mentari
yang tersenyum di langit sana, tapi hatiku juga ikut tersenyum pagi ini.
“Oh ya, hari ini ada acara?” tanyaku sesaat setelah Moli
terkekeh karena leluconku.
“Rencananya sih mau ke salon sama Mama nanti. Mau jalan?”
tebaknya.
“Sebenarnya aku mau ngajak kamu ke bioskop. Film yang
kamu tunggu-tunggu sudah tayang. Tapi tak apa, masih ada waktu lain.” Kataku
sdikit kecewa.
“Oh ya? Maaf ya Molan!! Gimana kalau kamu datang ke
rumahku nanti malam? Ada pesta kecil-kecilan acara ulang tahun Mama.”
“Pasti. Pasti aku datang. Undangan darimu tak akan aku
sia-siakan Bidadari.” Jawabku antusias.
“Hehe..ajak Papamu juga ya!!” request Moli.
“Haha ok!! Aku penasaran gimana jadinya seorang pengacara
berdebat dengan seorang psikolog seperti Mamamu.”
“Kita lihat saja nanti..”
Kemeja merah berdasi dengan balutan jas hitam. Masih
dengan mobil sport hitam modifanku. Ya, bersama Papa tentunya, sesuai request
Moli tadi pagi. Mati-matian aku membujuk
Papa untuk ikut. Dan untunglah rayuan mautku berhasil meluluhkannya. Aku menang pada debat tdi siang. Papa tak terlalu mengeluarkan jurus-jurus yang sering ia gunakan di pengadilan. Ini hanya untuk Bidadariku. Debat dengan pengacara beres. Ya, demi tawamu.
Papa untuk ikut. Dan untunglah rayuan mautku berhasil meluluhkannya. Aku menang pada debat tdi siang. Papa tak terlalu mengeluarkan jurus-jurus yang sering ia gunakan di pengadilan. Ini hanya untuk Bidadariku. Debat dengan pengacara beres. Ya, demi tawamu.
“Ayo masuk!!” pinta Moli.
Ternyata ia sudah menungguku di pintu rumahnya. Senyumnya
cerah. Gaun merah yang ku berikan di pesta ulang tahunnya bulan kemarin semakin
membuatnya terlihat mempesona. Ia suka warna merah, tak heran warna merah
mendominasi benda pemberianku. Apalagi malam ini, kemeja yang ku pakai senada
dengan warna gaunnya. Sehati.
Perlahan aku melangkah masuk. Moli mendahuluiku. Ia ingin
mengenalkan aku dan Papa pada Mamanya. Begitulah keinginan yang dibisikkannya
di telingaku.
“Molan..” panggil Moli sembari menepuk bahuku.
“I..iya..” aku sedikit tersentak. Minuman bersoda yang
baru saja ku telan hampir saja keluar kembali.
“Ini Mamaku. Ma, kenalin
ini Molan!!”
“Hai tante..” sapaku.
“Hai Molan..” balas Tante Dona sambil tersenyum kecil.
Ada kenyamanan saat aku menjabat tangannya. Mama. Aku
tiba-tiba rindu sosok Ibu yang tak pernah ku lihat wajahnya semenjak aku kecil.
Sosok Mama bagai tertutup rapat oleh tabir, hingga aku tak dapat menjamahnya.
Bahkan cerita tentangnya sekalipun.
“Papamu kemana?” tanya Moli.
“Papa ke toilet. Eh itu Papa.” Kataku sambil menunjuk
Papa yang berjalan ke arahku.
“Dona..” kata Papa.
“Aditya..” ujar Tante Dona lebih keras.
Semua tamu terdiam dan beralih memendang ke arah Papa dan
Tante Dona. Hatiku bertanya-tanya. Darimana Papa tahu nama Tante Dona? Padahal
mereka belum berkenalan. Bahkan setahuku mereka tak pernah bertemu. Suasana
sejenak hening. Akupun ikut membisu, begitupun juga dengan Moli. Dari raut
wajahnya, sepertinya ia juga bertanya-tanya dalam hati. Persis seperti yang ku
rasa.
“Jadi ini Ibu pacarmu? Jika iya, ayo kita pulang!!
Hubungan kalian cukup sampai di sisni. Papa tidak setuju.” Ujar Papa sambil menggelendengku
keluar.
“Tapi kenapa Pa? Aku sayang Moli.”
Aku mencoba berontak, tapi tenaga Papa semakin besar.
Fikiranku kacau. Moli mencoba menyusulku, tapi Tante Dona juga melarangnya
layaknya Papa. Aku curiga kalau mereka sekongkol memisahkan kami. Sepertinya
ini mimpi buruk. Tapi kenapa jam weker berisik dan telfon dari Moli itu tak
membangunkanku? Apa ni belum pagi? Apa pendingin di kamarku terlalu membuatku
terlelap?
Prakk..
Tamparan keras mendarat di pipi kananku, disusul darah
segar yang mengalir dari sudut bibirku. Pelakunya tak lain adalah Papa. Aku tak
menatapnya. Aku masih fokus dengan dampak tamparan Papa yang menyadarkanku
bahwa ini bukan mimpi.
“Masuk mobil!!” teriak Papa sambil mendorong tubuhku ke
dalam mobil.
Layaknya robot yang patuh pada perintah pengendalinya,
kali ini aku pasrah pada perintah Papa. Tak seperti biasa, Papa memacu mobil
sport hitamku dengan begitu cepat menembus gelapnya jalanan.
“Kamu tahu siapa pacarmu? Kamu tahu siapa Dona? Jawab
Molan!! Jangan hanya diam. Gunakan mulutmu itu. Apa jangan-jangan kau sudah
tuli karena cintamu yang salah itu?” kata Papa setelah kami sampai di rumah.
“Kenapa Pa? Apa salahnya cintaku pada Moli?”
Aku mendekat ke arah Papa. Memeluk kakinya sambil
merendah. Air mataku meleleh bercampur darah dari bibirku yang terus saja
mengalir.
“Dia saudara kembarmu.” Jawab Papa singkat.
Aku melemah. Kaki Papa perlahan ku lepaskan. Suara Papa
bak petir yang merontokkan hatiku. Jadi tante Dona Mamaku? Moli saudara
kembarku? Kenapa skenarioMu tertutup kabut setebal ini Tuhan? Kenapa sampai
cintaku jatuh pada saudara kembarku sendiri? Cinta memang buta. Tapi ini buta
yang kelewatan batas.
“Tuhan, terimakasih karena Engkau telah pertemukan aku
dengan Mama yang sedari dulu tak pernah ku tahu keberadaannya. Aku memang
mencintai Bidadariku, tapi jika Engkau takdirkan dia sebagai saudara kembarku,
aku ikhlas Tuhan. Setidaknya aku bisa mencintainya sebagai saudaraku.”