Di Bawah
Derai Hujan
Mentari
bersinar angkuh di puncak langit. Ia tak berfikir seberapa ganasnya sinar itu
memanggang makhluk bumi. Sinar ultraviolet yang tak tersaring sempurna karena
ozon yang mulai terkikis. Ya, lotion dengan SPF rendah yang biasa ku pakai
sudah tak ampuh. Apalagi jika harus berada di luar ruangan dengan tangan
telanjang seperti siang ini.
Ku sandarkan
punggungku di kursi halaman depan sekolah menanti dewaku datang menjemputku.
Namanya Kresna. Sekolah kami beda, dan jarak sekolahnya lumayan jauh dengan sekolahku.
“Mbak,
jemputannya sudah datang!!” Teriak Pak Satpam dari depan gerbang.
Saking
seringnya Kresna menjemputku, Satpam sekolah sampai hafal dengan sosok Kresna
dan Jazz merahnya.
Dengan
semangat, aku berjalan menghampiri Kresna. Seperi biasa pula, ia membukakan
pintu mobil untukku. Jazz merah itu segera meluncur di jalanan.
“Wajahmu
cerah, secerah bunga ini.” Kata Kresna sambil menyodorkan bunga mawar putih.
“Hehe kamu
bisa aja. Makasih ya!!”
“Sama-sama
Momon. Untung kamu sukanya mawar putih. Coba kalau berlian, aku nggak bakalan
bisa sering-sering ngasih ke kamu. Hehe..” Celetuk Kresna.
Dia sering
memanggilku Momon, meski nama asliku adalah Monica. Itu panggilan sayangnya
padaku. Kami larut dalam tawa saat itu, sampai akhirnya aku ingat pada janjinya
tempo hari untuk membelikanku es krim. Tempo hari, dengan jailnya ia memamerkan
acara traktiran es krim di kantin sekolahnya. Karena aku pura-pura acuh, jadi
dia berjanji untuk membelikanku es krim hari ini.
“Kau ingat
janjimu?” kataku menyelidik
“Janji apa
Momon?” jawabnya santai.
“Ah
dasar...Dewa Kresna kok pelupa..”
Aku
membenamkan wajahku dan berpaling. Dia justru terkekeh dan menghentikan
mobilnya. Aneh. Kemudian kembali ku tatap wajahnya. Dia memegang hidungku
dengan telunjuknya sambil mendekatkan wajahnya. Aku seolah terbius dan mulai
membisu.
“Aku tidak
akan pernah lupa dengan janjiku Monica. Tapi ketahuilah, jika Dewa Kresna
dilahirkan di bumi untuk membawa kebaikan bagi umat manusia, mungkin aku
dilahirkan untuk membawa cinta untukmu.”
Aku tersipu.
Penyakit romantisnya tetap saja kambuh, bahkan kali ini benar-benar membuatku
meleleh. Tapi itulah Kresna, ia selalu bisa mengukir tawa di wajahku.
“Aku belum
percaya kalau kamu belum membelikanku es krim di sebrang jalan itu. Tapi, karena
kamu berhasil membuatku tersipu, jadi kamu cukup memberiku uang dan biarkan aku
yang membelinya.” Penyakit cerewetku ikut kambuh.
Kresna
menyanggupi pintaku. Tanpa basa-basi, disodorkannya lembaran rupiah padaku.
Lalu segera aku keluar mobil. Suasana di luar berubah gelap. Mentari tak lagi
bersinar cerah. Mendung menguasai luasnya langit. Tapi, mendung itu tak
menghentikan hasratku untuk segera membeli es krim di sebrang jalan. Masih
terbawa suasana, aku sampai lupa menoleh saat akan menyeberang jalan. Tanpa
sadar, mobil dengan kecepatan tinggi bergerak ke arahku. Kresna yang menyadari
hal itu, segera turun dari mobil dan mendorong tubuhku ke pinggir jalan.
Brukk!!!!
“Kresna...”
teriakku.
Di tengah
hujan yang perlahan turun, aku berlari menghampiri Kresna yang terkapar di
tengah jalan. Tubuhnya tak bergerak. Ku angkat kepalanya dan meletakkannya di
pangkuanku. Baju seragam putihnya kini bercampur dengan warna merah karena
darah dari pelipis dan tangannya yang terus mengalir, tak terkecuali rok abu-abuku
yang juga basah dengan darah dan derainya hujan. Mungkin derai hujan tau isi
hatiku, sehingga ia turun saat deraiku juga turun.
“Kres...Kresna.
Bangun Kres!!” suaraku mulai bergetar.
Ku usap
derai hujan yang membasahi wajah indahnya. Ku goyang-goyangkan tubuhnya,
berharap ia sadar. Nihil. Semua sia-sia, Kresna tak merespon tindakanku. Ia
tetap dalam kebisuannya. Mata teduhnya tak kunjung terbuka. Aku makin histeris.
Seragamku semakin rata dengan darahnya. Sementara hujan tetap setia menemani
dan menyembunyikan derai air mataku. Ya, hanya hujan yang peduli. Tak ada
seorangpun yang mendekat apalagi menolong. Sedang mobil yang menabrak Kresna
lenyap entah kemana.
“Mo..nica..”
kata Kresna lirih.
“Kresna,
kamu harus kuat. Kamu nggak boleh pergi!!”
Tangannya
meraba saku di dada kirinya. Dengan gerakan lemah, ia sodorkan sebuah cincin
dengan ukiran nama kami berdua. Dipaksanya bibirnya tersenyum.
“A..ku
sayang ka..mu Mon.” Ucapnya terbata.
Tangannya
perlahan mencoba meraih kepalaku. Ku genggam tangan yang penuh luka itu di
pipiku. Ku pakai cincin pemberiannya, dan memperlihatkannya.
“Aku juga
sa..”
Kata-kataku
terhenti karena mata Kresna kembali tertutup. Tangan yang sedari tadi menyentuh
pipiku, kini jatuh terkulai begitu saja. Ku periksa denyut nadinya. Lemah,semakin
lemah, dan akhirnya lenyap.
“Kresna..”
teriakku sambil memeluk tubuhnya yang mulai pucat pasih.
Dalam hati,
ingin rasanya ku katakan bahwa aku juga menyayanginya. Tapi waktu belum
mengizinkanku sekarang. Takdir mengharuskannya pergi. Terlebih dulu menghadap
sang Khaliq dalam sebuah senyum kedamaian. Biarkan hujan menjadi saksi seberapa
dalam persaanku padanya. Biarkan hujan mencetak sejarah antara kita. Aku dan
Sang Dewaku, Kresna.
by : Ana Milatusholihah