Kebahagiaan bercampur sedih
Malam ini, langit penuh bintang yang indah. Aku tak bisa tidur
karena memikirkan sekolahku yang sebentar lagi usai. Namaku Nia Prasetya. Aku
berasal dari keluarga yang sederhana.
Satu bulan lagi aku Ujian Nasional. Aku bingung dengan apa aku
harus membayar biaya ujian. Keseharianku hanya membantu tetanggaku jaga warung
setelah pulang sekolah. Upahnya pun tak seberapa, walaupun aku sudah sedikit
demi sedikit menabung tetap saja uangku belum cukup untuk membayar ujian. Aku
pun tak ingin merepotkan ibuku yang hanya bekerja sebagai buruh tani.
Sebenarnya aku masih mempunyai ayah, hanya ayah meninggalkan ibuku karena ada
wanita lain yang lebih kaya. Sejak saat itu, aku harus membantu ibuku mencari
uang untuk biaya sekolahku.
Dulu semasa aku SMP, aku mendapat beasiswa. Jadi aku hanya membayar
sebagian dari biaya sekolahku saja. Meskipun sekarang aku juga mendapat
beasiswa karena prestasiku, tapi aku harus membayar biaya ujian sendiri.
**
Hari ini aku pulang pagi, aku berjalan pulang dengan cukup nyaman
karena kakiku masih kuat untuk memijak. Tiba – tiba terdengar suara memanggil
nama pendekku.
“Nia...”. sekejap kepalaku menoleh kearah suara itu. Ternyata Andi
sedang berlari kearahku.
“ ada apa Ndi? Kox sampe ngos-ngosan gitu?”
“ikut aku yuk.”
“kemana? Tapi aku kan harus jaga warung.”
Belum sempat aku mendengar jawaban Andi, dia sudah menentengku
kearah motonya. Andi adalah teman sekelasku yang menurutku orangnya baik,
pintar dan juga bertanggungjawab. Dia gak pernah sombong meskipun dia berasal
dari keluarga kaya.
Setelah beberapa waktu, kami tiba di sebuah taman kota yang dulu
pernah aku kunjungi bersama dia ketika kami masih duduk di kelas X SMA CEMPAKA.
Aku masih belum tau kenapa dia mengajakku kesini lagi.
“kita mau ngapai sih Ndi?”
Lagi – lagi Andi tidak menjawab pertanyaanku. Dan ternyata Andi tau
kalau aku belum membayar biaya ujian. Ia bermaksud meminjami aku uang, tapi aku
menolak karena aku tak mau punya beban hutang sama dia. Dalam fikiranku mungkin
dia kecewa, tetapi ternyata tidak. Dia mengantarku pulang kerumah dengan
senyumnya yang manis.
Sesampainya di rumah, aku langsung ganti pakaian. Kebetulan ibuku
belum pulang, jadi aku tidak bisa berpamitan untuk pergi. Andi mengajakku pergi
lagi. Kali ini aku dikenalkan dengan teman-temannya yang kebetulan adalah
seorang musisi jalanan. Andi sering ikut ngamen dengan mereka, hanya untuk
sekedar bersenang-senang mencari pengalaman. Dan saat ini, aku diajak untuk
bergabung menyumbangkan beberapa lagu. Di sekolah memang aku mengikuti ekstra
music dan Andi tau tentang hal itu.
**
Sudah seminggu ini, sepulang sekolah aku izin untuk tidak jaga
warung dan memilih bergabung dengan teman-teman musisi jalanan menyusuri trafic
light kota Jakarta dengan menyodorkan kaleng kosong. Lagu-lagu yang sering ku
nyanyikan aku tuangkan di sini, di jalanan kota Jakarta.
Berjam-jam kami berjalan dan bernyanyi. Beberapa saat kami melepas
lelah. Andi pun ikut turut dengan kami. Dan di taman ini kami mulai menghitung
uang yang kami dapat tadi. Lumayan banyak, dan uang itu kami bagi rata.
Hasilnya cukup, melebihi gajiku kalau menjaga warung.
“ada tawaran manggung nih, kalian mau nggak?” Suara Andi memecah
keheningan.
“oh ya? Dimana?” sautku
memberi respon.
Kami di tawari manggung di acara pernikahan sepupu Andi. Semua alat
musik sudah di persiapkan dari sana, kami tinggal datang dan menyumbangkan
beberapa lagu.
**
Dan hari demi hari aku lalui menjadi seorang musisi jalanan.
Akhirnya uangku sudah cukup untuk membayar biaya ujian. Semua itu karena
bantuan Andi dan teman-temanya.
Lusa adalah hari dimana aku dan teman-teman berjuang demi kelulusan
kami. Dan aku akan berusaha untuk menjadi yan terbaik. Aku sudah berjanji pada
ibu, ketika aku lulus nanti aku akan membahagiakan ibuku dengan caraku sendiri.
**
Setelah melalui perjalanan ujian beberapa hari lalu, kini aku mulai
mencari pekerjaan dan berusaha mendaftar bidikmisi agar aku bisa kuliah. Ibu
sangat menginginkan aku kuliah. Jadi, aku harus berusaha lebih giat.
Aku selalu browsing dan mencari informasi mengenai beasiswa kuliah.
Namun, di saat aku hampir menemukan jalan untuk kuliah, ibu sakit keras. Dan
aku belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Aku masih setia menjaga warung
milik tetanggaku. Setiap malam aku selalu berdo’a. Tapi apa daya, Allah belum
mengijnkan ibuku sembuh. Semakin hari penyakit ibuku semakin parah. Ia sudah
tidak bisa bekerja lagi. Dan sekarang aku yang harus menjadi tulang punggung.
**
Dan hari ini adalah pengumuman kelulusanku. Ibu tidak bisa ke
sekolah mengambil pengumuman itu. Dengan terpaksa dan sedih aku mengambil
pengumuman itu sendiri.
Perlahan-lahan aku buka kertas yang berisi pengumuman itu, dan saat
aku baca, aku menangis karena aku berhasil LULUS dengan nilai tertinggi di
sekolahku. Aku buru-buru pulang untuk memberitahu ibu.
Sesampainya di rumah, penyakit ibu semakin parah. Aku langsung
membawa ibu ke rumah sakit, walaupun sebenarnya uangku mungkin tidak cukup
untuk membayar rumah sakit.
**
“ibu, kamu harus sembuh ya. Aku sudah lulus. Aku sudah janji akan
membhagiakan ibu. Dan besok adalah pengumuman SNMPTN bu, doakan aku ya semoga
aku bisa masuk Perguruan Tinggi.”
“ ibu selalu mendo’akanmu nak, terimakasih selama ini sudah
membantu ibu. Maafkan ibu ya Nia. Ibu tidak bisa membahagiakan kamu. Lalu,
dengan uang siapa kamu membayar rumah sakit ini Nia? Ibu ingin pulang saja.”
“ ibu tenang saja, Nia masih punya tabungan kox bu. Ibu harus
sembuh.” Aku tak kuat menahan air mata.
“ ibu mau pulang saja Nia, ibu sudah sembuh. Turuti keinginan ibu
Nia.”
Dengan berat hati aku membawa ibu pulang ke rumah karena aku tidak
ingin membuat ibu kecewa.
**
Pagi ini aku berpamitan dengan ibu untuk ke sekolah untuk mengambil
pengumuman SNMPTN. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkan ibu sendirian, tetapi
Andi bersedia menemani ibuku selama aku mengambil pengumuman. Andi sengaja
tidak mengikuti SNMPTN karena dia akan meneruskan kuliah di Luar Negeri.
Sesampainya disekolah, kepala sekolahku langsung memelukku. Aku
belum tahu apa yang terjadi. Dan seketika beliauu memberitahuku kalau aku di
terima di Universitas Indonesia dari hasil seleksi tersebut.
Aku mulai menitihkan air mata, dan dengan tergopoh-gopoh aku di
antar kepala sekolahku pulang ke rumah untuk memberi tahu ibu.
**
Begitu aku masuk rumah, ibu tersenyum melihat aku bersama kepala
sekolah.
“ ibu, aku di terima kuliah bu. Terimakasih ibu, ini semua karena
do’amu.”
Aku berjalan meunuju ibu. Ku peluk ibuku yang sedang sakit itu. Ia
mengelus rambutku, dan tiba-tiba tangannya lemas, wajahnya pucat pasi. Semakin
ku peluk ibuku, dan detak jantungnya tak kudengar lagi.
Aku tak bisa apa-apa. Allah telah menakdirkan kebahagiaan dan
kesedihan secara bersamaan untukku hari ini. Ibu sudah meninggalkanku.
**
Sepeninggal ibuku, aku hidup seorang diri. Tak ada lagi tempat
curhat di kala aku sedih, tak ada lagi sosok ibu yang selalu menyemangatiku.
Dan akhirnya, aku kuliah di Universitas Indonesia, menuntut ilmu
demi masa depanku. Dan menjalani hidupku tanpa seorang ibu.
**
by : Asih Murwati