Satu
Kakiku untuk Tawa Mereka
Ku hirup udara keramaian simpang
lima. Keramaian yang abadi, dimana tiap mataku menatapnya selalu tampak lalu
lalang orang-orang dengan segala ekspresi dan kepentingannya. Kepentingan yang
terkadang tak jelas. Tanpa tujuan. Seperti apa yang ku lakukan sekarang. Duduk
dalam riuh meski kebekuan telah menjeratku.
Masih tersimpan di benakku, saat aku
datang kesini bersama Ibu dua tahun lalu. Ia menyuruhku duduk di kursi ini dan
menunggunya sejenak. Lalu saat aku mulai bosan dengan penantianku, Ibu datang
dengan dua buah eskrim di tangannya. Kami kemudian duduk bersama, menghabiskan
lezatnya eskrim vanila sambil bercanda. Tapi sudahlah, itu sudah masa lalu.
Sekarang ini mungkin Ibu sudah nyaman dalam mimpi indahnya, karena arloji di
tanganku menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
“Ini sudah saatnya aku menyapa
mereka,” gumamku.
Aku berlalu mengambil motor di
parkiran dan bergegas menuju sebuah caffe di salah satu sudut kota. Tak jauh
memang, hanya lima belas menit yang ku butuhkan untuk sampai di tempat itu.
Ruang rias yang saat ini menjadi
tujuan utamaku, setelah keluar dari ruang kostum di sebelahnya. Hanya caffe
yang spesial yang menyediakan ruangan-ruangan seperti ini. Maklum, caffe ini
bisa membayar sampai lima bintang tamu setiap harinya. Jadi, ruangan-ruangan
seperti itu menjadi penting disini.
Gaun malam yang masih terlihat sopan
menyelimuti tubuhku. Rambut panjangku kali ini sengaja ku buat bergelombang dan
terurai tanpa hiasan. Didukung sepatu dengan tinggi sekitar sembilan sentimeter
membungkus kakiku, meski jempolku masih bisa mengintip dunia luar dari
lubangnya.
“Selamat malam. Seperti biasa, saya Yorika akan melantunkan sebuah
lagu. Semoga bisa menghibur santap malam anda semua,” kataku membuka
penampilanku malam ini.
Syair lagu ‘Someone Like You’ milik
Adele mengalir bersama iringan piano Rendra, pemain piano andalan caffe ini.
Dengan hati, ku lantunkan lagu itu, dan ikut terluapkan juga emosiku di
dalamnya. Menyanyi adalah nafasku, dan hanya dengannyalah ku bisa melupakan
sejenak beban yang bertumpuk di otakku.
“Bagus Yori. Kau berhasil menghibur
kami malam ini,” Pak Bagas menghampiriku disusul riuh tepuk tangan pengunjung
caffe.
“Terimakasih, Pak. Saya juga senang
menghibur mereka,” ku sambut uluran tangannya.
Tak mau kalah, Rendra juga datang
dengan senyum dan jabat tangannya. Sekarang aku lega karena aku tak
mengecewakan tawaran Pak Bagas yang tempo hari menyuruhku menyanyi di caffenya,
setelah Rendra merekomendasikan namaku.
Setelah Pak Bagas berlalu menuju
ruangannya, aku langsung menuju ruang kostum untuk ganti baju dan cepat pulang.
Aku sudah tak sabar ingin menceritakan pengalamanku malam ini pada Ibu.
“Ini dari Bos buat kamu, Yor,” kata
Rendra saat aku keluar dari ruang kostum.
“Makasih ya!” ku buka amplop cokelat
dari Rendra. “Ini buat kamu Ren!” lanjutku sambil menyodorkan selembar uang
seratus ribuan dari amlpop itu.
“Apa ini Yor?”
“Udah ambil aja! Ini sebagai tanda
terimakasih dari aku, karena kamu udah bikin aku bisa nyanyi di caffe sebesar
ini.”
Ku paksa dia menerima uang itu. Dan
sebelum komentar-komentarnya menyerbuku, aku buru-buru pergi dari hadapannya.
Terdengar dia berkali-kali menyerukan namaku. Aku hanya tersenyum dalam hati,
lalu bergegas memacu motorku menembus malam.
Lewat tengah malam aku sampai di
rumah. Saat aku akan masuk, pintu depan tidak terkunci. Karena ingin memberi
kejutan pada Ibu dengan uang yang aku bawa, aku masuk dengan mengendap-endap
dan tanpa mengucapkan salam.
Pertama, aku mencari Ibu di depan
tv, tapi sosok Ibu tak ku dapat disana. Aku lalu berlari menuju kamar Ibu, tapi
sosoknya juga tak ada disana. Aku mulai panik. Ku telusuri seluruh ruangan di
rumah, tapi hasilnya nihil. Ibu tetap tidak ku temukan. Perasaanku campur aduk.
Air mataku meleleh perlahan. Ku buang tasku ke lantai dan ku sandarkan
punggungku di kursi ruang tamu. Tak sengaja mataku melihat bercak darah di
depan pintu kamar Ibu.
Cepat aku berlari menuju
bercak-bercak itu, untuk memestikan apakah itu benar-benar darah atau tidak. Agak
gemetar tanganku saat menyentuh bercak merah itu, lalu mendekatkannya ke
hidungku. Aroma khas darah seketika ku cium.
“Ibu...” teriakku histeris, disusul
air mataku yang makin lebat.
Aku duduk tak berdaya di lantai.
Pikiranku buntu. Tak ada yang bisa ku lakukan selain menangis. Sampai akhirnya
mataku menangkap sebuah kertas misterius di atas meja ruang tamu.
Ibu kamu pakde bawa ke Rumah Sakit
Mutiara Kencana. Paru-parunya kambuh.
Setelah membacanya, aku bergegas
memacu motorku menuju tempat yang Pakde tulis di dalam kertas itu. Meski fajar
belum menyingsing, tapi gelapnya jalanan tak menghentikan langkahku untuk
menemui Ibu.
Sekitar tiga puluh menit aku sampai
di parkiran rumah sakit. Dari tempat parkir, sekilas ku lihat wajah Pakde
melintas memasuki rumah sakit. Spontan aku mengejarnya, dan untunglah aku
berhasil membuatnya berhenti.
“Kamu dari mana saja, Ri?” kata
Pakde saat aku sampai di sampingnya.
“Tadi ketiduran di rumah temen waktu
habis belajar kelompok, Pakde,” elakku.
Aku terpaksa berbohong pada Pakde,
karena bagiku ini bukan waktu yang tepat untuk berkata jujur. Mungkin reaksi
dan tanggapan Pakde akan jauh berbeda dari yang sekarang, saat kejujuran itu ku
ucapkan saat ini juga.
“Pakde, Ibu sekarang dimana?” serobotku
sebelum ia mengutarakan tanggapannya mengenai alasanku tadi.
“Oh ya, Ibumu ada di lantai dua
ruang cempaka nomor lima. Ayo ikut Pakde!” jelasnya.
Aku hanya mengangguk lalu mengikuti
langkahnya. Sambil menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang agak sepi, Pakde
menceritakan kronologi yang menimpa Ibu sampai ia membawa Ibu ke rumah sakit
ini. Mendengarnya, hatiku serasa teriris. Rasa bersalah yang tadi sedikit
pudar, kini kembali terasa menghujam. Bagaimana bisa saat seorang Ibu sedang
sakit dan membutuhkan anaknya, tapi pada saat yang sama seorang anak itu tidak
ada tanpa alasan yang jelas.
“Ini ruangan Ibumu,” kata Pakde.
Aku sedikit tersentak saat Pakde
berucap. Tanpa berpikir panjang, aku segera memasuki ruangan bercat putih yang
ditunjuk Pakde. Ku lihat di dalamnya, Ibu tergolek lemah di tempat tidur. Di
tangannya tersambung selang infus putih transparan yang bermuara di sebuah
kantong infus yang tergantung begitu saja di tiangnya. Kain korden berwarna
biru muda turut berperan di dalam ruangan itu. Bukan hanya untuk menutupi
jendela, tapi juga untuk membatasi antara tempat tidur pasien satu dengan
tempat tidur pasien lainnya. Maklum, ruangan yang ditempati Ibu bukan ruangan
super eksklusif layaknya VVIP dengan pelayanan dan fasilitas super pula.
Ruangan Ibu cukup sederhana, tak begitu luas dan ditempati oleh tiga orang pasien.
“Ibu maafkan Yori ya! Yori tadi tak
ada di samping Ibu,” bisikku sembari mencium pipinya.
Perlahan mata Ibu terbuka. Ia
tersenyum. Matanya dalam menatapku. Tatapan yang penuh makna, tapi hatiku tak
dapat menerjemahkannya secara spontan. Aku membalas senyum itu, tapi air mataku
tak dapat ku bendung lagi. Butir-butir itu jatuh membasahi tangan Ibu yang
sedari tadi ku genggam.
“Yorika..” seru Ibu.
Aku menatap ke arah Ibu dan beranjak
memeluknya. Ia kembali tersenyum dan mengelus pundakku, meski gerakannya
cenderung lemah.
“Yo..Yori sayang Ibu,” kataku
terisak.
“Ibu tau. Ibu juga menyayangimu.
Tapi sekarang kamu tidur dulu. Ibu tau kamu belum tidur semalaman.”
“Tapi Ibu...”
“Ibu tidak apa-apa,” kata Ibu sambil
tersenyum.
Aku mencoba ikut tersenyum. Dan
sesuai pinta Ibu, aku berjalan dan merebahkan tubuhku di tikar yang tergelar di
lantai samping tempat tidur Ibu. Sementara Pakde tidur di kursi di depan
ruangan Ibu. 04.00. Sudah cukup telat untuk terlelap. Tapi demi Ibu, tidur atau
tidak tidurpun aku rela.
***************
Tak ada mimpi yang menghiasi. Mungkin
aku tak sempat bermimpi, atau mungkin dewi mimpi tak sempat membagikan mimpi
dalam lelapku.
Serpihan cahaya mentari menembus
kaca-kaca yang menghalanginya. Menembus celah-celah korden biru. Tak lama,
benda biru itu digeser menepi oleh seorang wanita setengah baya berdaster
panjang dengan motif bunga-bunga.
Tampak olehku mata Ibu yang masih
tertutup rapat. Ku putuskan untuk berjalan keluar mencari Pakde. Tapi lama
berputar-putar, sosok Pakde belum juga tampak. Tiba-tiba muncul ide untuk
membelikan bunga mawar putih kesukaan Ibu dengan uang hasil tampil di caffe
semalam. Jadi, tanpa sepengetahuan Pakde, aku berjalan menuju parkiran dan
segera menuju toko bunga.
Ku pilih rangkaian bunga dengan lima
bunga mawar putih dan satu bunga mawar merah di tengahnya. Saat akan
membayarnya, seklebat terlihat wajah Ayah di sudut toko bunga yang sama dengan
yang sekarang aku berada. Tapi, karena merasa bahwa sosok itu hanya halusinasi,
aku tak lagi menatapnya.
“Ayah tak pernah kembali lebih dari
lima tahun. Mana mungkin Ayah ada disini,” gumamku dalam hati.
Setelah
membayar, dengan semangat aku bergegas kembali ke rumah sakit. Saat menyeberang
jalan, tanpa ku tahu, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menbrakku.
Tubuhku terlempar. Hanya sakit yang ku rasa. Sepanjang yang ku lihat, darah
segar mengalir dari dahi, lutut, dan hidungku. Aku tak dapat leluasa
menggerakkan tubuhku. Nyeri. Mataku buram, tapi masih dapat ku lihat banyak
orang mengerumuniku. Satu diantara mereka mengangkat kepalaku dan meletakkannya
di pangkuannya.
“Yori, sadar Nak! Ini Ayah,” katanya.
“Ayah..” kataku sesaat sebelum
pandanganku benar-benar gelap.
***************
Pelan tapi pasti ku buka kedua
mataku. Dinding putih, korden putih, dan nuansa serba putih menyapaku. Termasuk
seorang perawat berbaju putih yang tersenyum, kemudian berjalan meninggalkanku.
Tak lama setelah ia berlalu, beberapa orang berjalan menghampiriku.
“Yori, kamu sudah sadar, Nak?,” kata
Ibu.
Ibu datang dengan dipapah oleh
seorang lelaki yang wajahnya terasa tak asing di mataku.
“Ayah..” kataku pelan.
Tanpa merespon panggilanku, beliau
justru langsung memelukku. Begitupun dengan Ibu. Air mata mereka tumpah di
kedua pundakku. Tanpa sadar, air mataku juga ikut meleleh. Tapi ini air mata
bahagia. Bahagia karena sudah lebih dari lima tahun tak ku rasakan momen
seindah ini. Momen saat Ayah dan Ibu bersama.
“Yori, maafkan ayah!” ucap Ayah
setelah melepas dekapannya.
“Aku sudah memaafkan Ayah. Asal Ayah
jangan pergi lagi.,” kataku.
Ayah tersenyum, begitupun Ibu,
Pakde, dan Rendra yang juga datang menjenguk. Tapi ada yang aneh saat ku
gerakkan kakiku. Spontan ku singkap selimut yang sedari tadi menutupi tubuhku.
“Kakiku kemana, Bu?” Aku menoleh ke
arah Ayah. “Kemana, Yah?,” aku ganti menoleh ke arah Ayah.
Air mataku kini justru turun semakin
deras, disusul semua orang di hadapanku yang juga ikut menangis. Ternyata
kecelakaan yang menimpaku telah merenggut kaki kananku, dan sekarang separuh
dari kaki itu dibalut perban putih yang tebal.
“Sabar, Nak! Ini cobaan untuk
keluarga kita. Ibu dan Ayah selalu disini untuk kamu.,” kata Ibu.
Aku menangis didekapan Ibu. Lalu ku
ambil satu tangan Ibu, dan satu tangan Ayah. Merekatkannya di depanku, lalu
menggenggam kedua tangan itu dengan kedua tanganku.
“Ibu, Ayah, jika Tuhan mengambil
satu kakiku agar Ibu dan Ayah bisa bersatu kembali, aku rela.”
Ibu dan Ayah kembali memelukku.
Hatiku damai dipelukkan mereka. Jika dengan kecelakaan yang merenggut kakiku
kali ini berakhir seperti ini, maka aku tak akan menyesal dan menyerah. Karena
sekarang sumber semangatku telah kembali. Sumber tawa di hidupku telah bersatu.
Ayah dan Ibu.
TAMAT