Sang Juara
Malam semakin sunyi. Alunan-alunan nada dari suara jangkrik, katak,
dan hewan-hewan lainnya menemani kegelisahanku malam ini. Detik demi detik, jam
demi jam, hari demi hari, dan waktu demi waktu telah kulalui. Ini bukanlah
akhir dari sebuah perjuangan, tapi ini baru awal. Setelah melewati selesksi Olimpiade
Sains Nasional (OSN) tingkat Provinsi, kini saatnya untuk melangkah ke tingkat
Nasional. Fisika adalah jiwaku, dengan berbagai rumus yang diterapkan
sehari-hari.
Dua minggu lagi. Waktu yang begitu cepat dan singkat. Bayang-bayang
kekejaman di setiap soal demi soal semakin menggelayuti pikiranku. Tapi aku tidak
perlu takut. Itu mudah jika aku mau. Masalahnya hanya ada pada diriku.
Ibuku sering sakit-sakitan, dan aku harus menggantikannya untuk
berjualan gorengan keliling kampung setiap harinya. Tak ada sedikitpun waktu
yang terbuang hanya untuk berdiam. Ayah telah lama meninggal karena penyakit
kanker yang dideritanya. Rumah kami memang bagaikan sebuah gubuk, tapi banyak
kenangan indah yang mungkin orang lain tidak punya. Inilah duniaku dan inilah
surgaku.
Mataku sudah mulai terasa berat. Namun, latihan soal-soal OSN ini
belum selesai aku kerjakan. Tiap soalnya begitu rumit dan harus mempunyai
pengetahuan yang tinggi. Aku tidak akan menyerah. Tak kusadari ternyata aku
tertidur di meja belajarku.
Jam bekerku berbunyi. Waktu sudah menunjukkan jam tiga dini hari.
Segera kuambil air wudhu dan melaksanakan sholat malam. Banyak hal yang ingin
kuutarakan kepada Allah dan banyak harapan yang ingin kusampaikan. Setelah
selesai melakukan ritual malam, kubuka kembali buku latihanku. Mengoreksi satu
demi satu hasil pekerjaanku malam tadi. Semuanya beres. Kulanjutkan dengan
mengambil buku-buku pelajaran yang telah menunggu untuk kubaca.
Adzan subuh telah berkumandang. Kusiapkan wudhuku dan melaksanakan
sholat. Selanjutnya adalah saat untuk menyiapkan sarapan buat Ibu. Menanak nasi
lalu menggorengkannya beberapa potong tampe. Tak lupa kusiapkan obat dari
dokter, lalu mengantarnya ke kamar Ibu.
“Ibu sudah agak sehat?” Tanyaku pelan.
“Lumayan Ren,” Jawabnya sambil membentuk senyuman kecil dengan
lekukan bibirnya.
Kupijat-pijat kaki Ibu, sambil bercerita tentang lomba yang harus
kuhadapi selanjutnya. Kata-kata bijaknya semakin membuat hatiku berkobar dan
penuh semangat. Nasehat-nasehanya memberikan kedamaian hati yang tidak akan
pernah bisa hilang dari ingatan.
“Sarapannya jangan lupa dihabisin ya, Bu. Obatnya juga jangan lupa
diminum. Rendi mau mandi dulu.”
Ibu hanya tersenyum kecil, lalu aku meninggalkannya.
Kurapikan
seragam putih abu-abuku. Dan seperti biasa kulakukan ritual sebelum berangkat
sekolah. Meminta doa restu Ibu, lalu memberi hormat kepada sang merah putih
yang masih bertengger kokoh di depan rumahku. Selamat pagi dunia, selamat pagi
Indonesia.
Sesampainya di
sekolah, Pak Ahmad sudah menghadangku di depan pintu kelas.
“Sudah kamu
kerjakan soa-soalnya Ren?” senyumnya melebar.
“Sudah, Pak.
Ini...” Kusodorkan selembar kertas hasil belajarku malam tadi. Pak Ahmad
mengoreksi satu per satu soal dengan teliti. Lalu, tiba-tiba ia menepuk
pundakku.
“Kerja bagus,
Nak. Lanjutkan dengan soal-soal latihan yang lain. Bapak bangga dengan kamu.”
Ucapnya dengan raut muka yang menunjukkan kepuasan. Aku hanya terdiam sambil
sedikit melongo. Sedangkan Pak Ahmad berlalu dari hadapanku.
Tet...tet...tet...
Suara bel pulang telah berbunyi. Kelihatannya mentari sedang
bersemangat siang ini. Panasnya mengucurkan setiap tetes keringat di tubuhku.
Rasa haus di kerongkonganku pun tak dapat kupungkiri. Kupercepat lagkah kakiku
agar segera sampai di istana kecilku.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam... uhuk...uhuk...” Suara Ibu terbatuk-batuk.
Kulangkahkan kaki menuju dapur, tempat dimana Ibu sedang duduk
sambil merapikan gorengan-gorengan hangat yang baru saja dibuat olehnya.
Aromanya sungguh menggoda. Tapi sayangnya, kerongkonganku sedang tak berniat
untuk itu. Yang ia butuhkan adalah tegukkan penghapus dahaga. Tanganku segera
menyerobot kendil di atas meja makan. Teguk demi teguknya terasa sangat
menyegarkan.
“Gorengannya sudah siap, Bu?”
“Sudah Ren. Kamu ganti baju dan makan siang dulu. Baru jualan.”
“Iya, Bu.”
Sambil merekahkan senyum.
Kubaringkan
tubuhku di atas kasur untuk sementara. Sambil mengingat kembali kepuasan yang
terlihat dari raut wajah Pak Ahmad tadi. Wajah oval beliau memancarkan sinar
kebanggaan. Lewat senyumnya, seakan beliau mengatakan, “Kamu jenius Rendi.”
Tentu hatiku saat ini sedang cengar-cengir mengingat hal itu. Berhasilkah aku?
Ya, tentu akan berhasil.
“Gorengan... Gorengan...”
Meskipun terik matahari menyengat, aku masih bersemangat. Tangan
kananku memikul senampan gorengan, sedangkan tangan kiriku sibuk mengusap keringat
di dahiku.
Setelah tiga jam berjalan keliling desa, akhirnya gorengan buatan
Ibu habis terjual. Kuistirahatkan tubuhku sejenak di bawah pohon besar dekat
danau. Aku kembali berangan-angan tentang masa depan yang harus jadi milikku.
Hidup memang tak selalu baik. Tapi, kita sendiri yang akan mengubah
hidup menjadi lebih baik. Apapun yang akan terjadi, hidup akan terus berlanjut
dengan kekuatan hati dan semangat. Ini bukan sekedar angan-angan, tapi ini
adalah prinsip.
Setelah rasa lelahku mulai perlahan memudar, kulanjutkan perjalanan
pulang. Aku akan melihat senyum Ibu ketika ia mengetahui bahwa penjualan hari
ini cukup baik bahkan lebih baik.
Kuperhatikan
setiap detail penjelasan Pak Ahmad. Malam ini, ada belajar tambahan dengan
dampingan Pak Ahmad untuk mempersiapkan OSN yang semakin dekat. Setiap kata
yang keluar dari mulutnya tak terlewatkan olehku. Karena bagiku, semua itu
berharga.
Waktu menuju OSN telah tiba. Pikiranku tidak dapat terfokus pada
satu hal. Keadaan Ibu semakin parah. Aku takut dan gelisah. Kucium tangan dan
kedua pipi Ibu, lalu bersujud di kakinya.
“Bu, Rendi mohon doa restu ya..”
Ibu hanya mengangguk lalu tersenyum kecil. Wajahnya terlihat pucat.
Kulangkahkan kaki menuju ruang lomba. Ia meninggalkan jejak-jejak
ketakutan dan kegelisahan. Semua peserta dari berbagai provinsi telah siap.
Kumantapkan hati lalu berucap dalam hati, “Rendi pasti bisa!”
Soal-soal yang awalnya terlihat mengerikan, telah kulalui dengan
sempurna. Semua terasa mudah, karna aku mau. Dan langkah selanjutnya adalah
menunggu hasil, ‘mungkin beberapa minggu atau beberapa bulan.’ Aku tersenyum
kecil.
“Gimana Ren? Bisa?” Tanya Pak Ahmad, guru fisikaku, sambil menepuk
pundakku.
“Alhamdulillah Pak. Semoga hasilnya tidak mengecewakan.” Aku
tersenyum kepadanya.
“Ya sudah, mari kita pulang.”
Kuanggukkan
kepala lau berjalan mengikuti beliau.
Waktu yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Tepat di depan mataku
saat ini, piala kemenangan dari hasil kerja keras beberapa minggu lalu. Juara
satu Olimpiade Sains Nasional telah berada di genggamanku. Kesuksesan ini
kupersembahkan untuk Ibu yang dua hari lalu telah pulang ke surga. Meniti
kehidupan di alam baru yang indah. Mataku mulai berkaca-kaca ketika mangingat
kenangan bersama Ibu. Kini, aku sendiri.
“Ini untukmu Ibu,” Ucapku lirih sambil mendongak ke atas. Dan
bulir-bulir kecil keluar mengalir melalui lekuk-lekuk pipiku.
Aku
berlari menuju lapangan upacara lalu hormat kepada sang merah putih. Meskipun
aku tak lagi punya keluarga, tapi setidaknya aku masih punya Indonesia.