Mujas in action

Mujas in action
Jepara Beach

Cerpen Motivasi Perjuangan



Sang Juara

Malam semakin sunyi. Alunan-alunan nada dari suara jangkrik, katak, dan hewan-hewan lainnya menemani kegelisahanku malam ini. Detik demi detik, jam demi jam, hari demi hari, dan waktu demi waktu telah kulalui. Ini bukanlah akhir dari sebuah perjuangan, tapi ini baru awal. Setelah melewati selesksi Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat Provinsi, kini saatnya untuk melangkah ke tingkat Nasional. Fisika adalah jiwaku, dengan berbagai rumus yang diterapkan sehari-hari.
Dua minggu lagi. Waktu yang begitu cepat dan singkat. Bayang-bayang kekejaman di setiap soal demi soal semakin menggelayuti pikiranku. Tapi aku tidak perlu takut. Itu mudah jika aku mau. Masalahnya hanya ada pada diriku.
Ibuku sering sakit-sakitan, dan aku harus menggantikannya untuk berjualan gorengan keliling kampung setiap harinya. Tak ada sedikitpun waktu yang terbuang hanya untuk berdiam. Ayah telah lama meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya. Rumah kami memang bagaikan sebuah gubuk, tapi banyak kenangan indah yang mungkin orang lain tidak punya. Inilah duniaku dan inilah surgaku.
Mataku sudah mulai terasa berat. Namun, latihan soal-soal OSN ini belum selesai aku kerjakan. Tiap soalnya begitu rumit dan harus mempunyai pengetahuan yang tinggi. Aku tidak akan menyerah. Tak kusadari ternyata aku tertidur di meja belajarku.
Jam bekerku berbunyi. Waktu sudah menunjukkan jam tiga dini hari. Segera kuambil air wudhu dan melaksanakan sholat malam. Banyak hal yang ingin kuutarakan kepada Allah dan banyak harapan yang ingin kusampaikan. Setelah selesai melakukan ritual malam, kubuka kembali buku latihanku. Mengoreksi satu demi satu hasil pekerjaanku malam tadi. Semuanya beres. Kulanjutkan dengan mengambil buku-buku pelajaran yang telah menunggu untuk kubaca.
Adzan subuh telah berkumandang. Kusiapkan wudhuku dan melaksanakan sholat. Selanjutnya adalah saat untuk menyiapkan sarapan buat Ibu. Menanak nasi lalu menggorengkannya beberapa potong tampe. Tak lupa kusiapkan obat dari dokter, lalu mengantarnya ke kamar Ibu.

“Ibu sudah agak sehat?” Tanyaku pelan.
“Lumayan Ren,” Jawabnya sambil membentuk senyuman kecil dengan lekukan bibirnya.
Kupijat-pijat kaki Ibu, sambil bercerita tentang lomba yang harus kuhadapi selanjutnya. Kata-kata bijaknya semakin membuat hatiku berkobar dan penuh semangat. Nasehat-nasehanya memberikan kedamaian hati yang tidak akan pernah bisa hilang dari ingatan.
“Sarapannya jangan lupa dihabisin ya, Bu. Obatnya juga jangan lupa diminum. Rendi mau mandi dulu.”
Ibu hanya tersenyum kecil, lalu aku meninggalkannya.
Kurapikan seragam putih abu-abuku. Dan seperti biasa kulakukan ritual sebelum berangkat sekolah. Meminta doa restu Ibu, lalu memberi hormat kepada sang merah putih yang masih bertengger kokoh di depan rumahku. Selamat pagi dunia, selamat pagi Indonesia.
Sesampainya di sekolah, Pak Ahmad sudah menghadangku di depan pintu kelas.
“Sudah kamu kerjakan soa-soalnya Ren?” senyumnya melebar.
“Sudah, Pak. Ini...” Kusodorkan selembar kertas hasil belajarku malam tadi. Pak Ahmad mengoreksi satu per satu soal dengan teliti. Lalu, tiba-tiba ia menepuk pundakku.
“Kerja bagus, Nak. Lanjutkan dengan soal-soal latihan yang lain. Bapak bangga dengan kamu.” Ucapnya dengan raut muka yang menunjukkan kepuasan. Aku hanya terdiam sambil sedikit melongo. Sedangkan Pak Ahmad berlalu dari hadapanku.
Tet...tet...tet...
Suara bel pulang telah berbunyi. Kelihatannya mentari sedang bersemangat siang ini. Panasnya mengucurkan setiap tetes keringat di tubuhku. Rasa haus di kerongkonganku pun tak dapat kupungkiri. Kupercepat lagkah kakiku agar segera sampai di istana kecilku.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam... uhuk...uhuk...” Suara Ibu terbatuk-batuk.
Kulangkahkan kaki menuju dapur, tempat dimana Ibu sedang duduk sambil merapikan gorengan-gorengan hangat yang baru saja dibuat olehnya. Aromanya sungguh menggoda. Tapi sayangnya, kerongkonganku sedang tak berniat untuk itu. Yang ia butuhkan adalah tegukkan penghapus dahaga. Tanganku segera menyerobot kendil di atas meja makan. Teguk demi teguknya terasa sangat menyegarkan.
“Gorengannya sudah siap, Bu?”
“Sudah Ren. Kamu ganti baju dan makan siang dulu. Baru jualan.”
“Iya, Bu.” Sambil merekahkan senyum.
Kubaringkan tubuhku di atas kasur untuk sementara. Sambil mengingat kembali kepuasan yang terlihat dari raut wajah Pak Ahmad tadi. Wajah oval beliau memancarkan sinar kebanggaan. Lewat senyumnya, seakan beliau mengatakan, “Kamu jenius Rendi.” Tentu hatiku saat ini sedang cengar-cengir mengingat hal itu. Berhasilkah aku? Ya, tentu akan berhasil.
“Gorengan... Gorengan...”
Meskipun terik matahari menyengat, aku masih bersemangat. Tangan kananku memikul senampan gorengan, sedangkan tangan kiriku sibuk mengusap keringat di dahiku.
Setelah tiga jam berjalan keliling desa, akhirnya gorengan buatan Ibu habis terjual. Kuistirahatkan tubuhku sejenak di bawah pohon besar dekat danau. Aku kembali berangan-angan tentang masa depan yang harus jadi milikku.
Hidup memang tak selalu baik. Tapi, kita sendiri yang akan mengubah hidup menjadi lebih baik. Apapun yang akan terjadi, hidup akan terus berlanjut dengan kekuatan hati dan semangat. Ini bukan sekedar angan-angan, tapi ini adalah prinsip.
Setelah rasa lelahku mulai perlahan memudar, kulanjutkan perjalanan pulang. Aku akan melihat senyum Ibu ketika ia mengetahui bahwa penjualan hari ini cukup baik bahkan lebih baik.
Kuperhatikan setiap detail penjelasan Pak Ahmad. Malam ini, ada belajar tambahan dengan dampingan Pak Ahmad untuk mempersiapkan OSN yang semakin dekat. Setiap kata yang keluar dari mulutnya tak terlewatkan olehku. Karena bagiku, semua itu berharga.
Waktu menuju OSN telah tiba. Pikiranku tidak dapat terfokus pada satu hal. Keadaan Ibu semakin parah. Aku takut dan gelisah. Kucium tangan dan kedua pipi Ibu, lalu bersujud di kakinya.
“Bu, Rendi mohon doa restu ya..”
Ibu hanya mengangguk lalu tersenyum kecil. Wajahnya terlihat pucat.
Kulangkahkan kaki menuju ruang lomba. Ia meninggalkan jejak-jejak ketakutan dan kegelisahan. Semua peserta dari berbagai provinsi telah siap. Kumantapkan hati lalu berucap dalam hati, “Rendi pasti bisa!”
Soal-soal yang awalnya terlihat mengerikan, telah kulalui dengan sempurna. Semua terasa mudah, karna aku mau. Dan langkah selanjutnya adalah menunggu hasil, ‘mungkin beberapa minggu atau beberapa bulan.’ Aku tersenyum kecil.
“Gimana Ren? Bisa?” Tanya Pak Ahmad, guru fisikaku, sambil menepuk pundakku.
“Alhamdulillah Pak. Semoga hasilnya tidak mengecewakan.” Aku tersenyum kepadanya.
“Ya sudah, mari kita pulang.”
Kuanggukkan kepala lau berjalan mengikuti beliau.
Waktu yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Tepat di depan mataku saat ini, piala kemenangan dari hasil kerja keras beberapa minggu lalu. Juara satu Olimpiade Sains Nasional telah berada di genggamanku. Kesuksesan ini kupersembahkan untuk Ibu yang dua hari lalu telah pulang ke surga. Meniti kehidupan di alam baru yang indah. Mataku mulai berkaca-kaca ketika mangingat kenangan bersama Ibu. Kini, aku sendiri.
“Ini untukmu Ibu,” Ucapku lirih sambil mendongak ke atas. Dan bulir-bulir kecil keluar mengalir melalui lekuk-lekuk pipiku.
Aku berlari menuju lapangan upacara lalu hormat kepada sang merah putih. Meskipun aku tak lagi punya keluarga, tapi setidaknya aku masih punya Indonesia.

Subscribe to receive free email updates: